“Data tahun 2009 menunjukkan bahwa setiap orang Indonesia mengkonsumsi mie 73 bungkus/tahun dan terus meningkat sebesar 6%. Ini menjadikan Indonesia merupakan negara terbesar ketiga pengkonsumsi mie di dunia. Pada tahun 2008 saja, nilai impor terigu kita (Indonesia -red) sudah mencapai 22,5 triliun rupiah, dan akan terus meningkat karena tanaman gandum yang merupakan bahan baku terigu tidak dapat tumbuh di Indonesia,” kata Bambang Hariyanto, perekayasa di Pusat Teknologi Agroindustri (PTA) BPPT (12/4).
Dengan latar belakang tersebut, lanjutnya, PTA BPPT telah melakukan pengembangan mie sagu, yaitu mie yang terbuat dari bahan dasar sagu. “Potensi sagu yang sangat besar yaitu senilai 1 juta ton dan potensi pasar yang cukup menjanjikan, menjadikan pengembangan mie sagu ini patut dilakukan,” jelasnya.
“Melalui mie sagu ini, kita berarti telah memanfaatkan bahan baku lokal dan secara makro dapat mengurangi impor terigu. Bila kita dapat mengambil pangsa pasar 10% saja, maka kita dapat menghemat devisa negara hingga 2 triliun,” tegas Bambang.
Keunggulan mie sagu
Dari sisi karbohidrat, sagu ternyata memiliki kandungan karbohidrat sangat tinggi. Sedangkan terigu kaya akan gizi lainnya seperti protein, lemak dan sifat yang dapat mengembang. Sementara dari sisi keawetan, jika disimpan dengan kadar air sama, mie sagu akan lebih tahan lama dibanding mie terigu.
“Dengan memanfaatkan bahan baku lokal, ini berarti menunjang Peraturan Presiden No 22 th 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Pati sagu, bahkan diketahui mengandung resisten starch yang bertahan lama di usus dan bermanfaat bagi mikroba di usus,” jelas Bambang.
Tidak seperti yang diyakini masyarakat selama ini bahwa jika terlalu banyak mengkonsumsi mie akan berbahaya bagi usus, mie sagu ini sama sekali tidak berbahaya bagi usus. “Kandungannya yang hanya terdiri dari karbohidrat, menjadikan mie sagu tidak memiliki efek negatif bagi usus. Bahkan mie sagu dengan resisten starch nya menjadi probiotik bagi usus sehingga dapat melancarkan pencernaan. Mengkonsumsi mie sagu secara rutin juga diyakini dapat menjaga kesehatan terutama bagi penderita diabetes,” katanya.
Saat ini, menurut Bambang, baru tersedia pengusaha mie sagu di Ambon saja. Perlu lebih banyak dilakukan sosialisasi agar semakin banyak perusahaan-perusahaan terutama UMKM yang mau memproduksi mie sagu dalam upaya mendukung ketahanan pangan. “Melalui pelaksanaan Sistem Inovasi Daerah, saya yakin produksi mie sagu ini akan dapat berkembang tidak hanya di Ambon saja tetapi juga di seluruh daerah di Indonesia,” jelasnya.
(SYRA/humas BPPT)
Dengan latar belakang tersebut, lanjutnya, PTA BPPT telah melakukan pengembangan mie sagu, yaitu mie yang terbuat dari bahan dasar sagu. “Potensi sagu yang sangat besar yaitu senilai 1 juta ton dan potensi pasar yang cukup menjanjikan, menjadikan pengembangan mie sagu ini patut dilakukan,” jelasnya.
“Melalui mie sagu ini, kita berarti telah memanfaatkan bahan baku lokal dan secara makro dapat mengurangi impor terigu. Bila kita dapat mengambil pangsa pasar 10% saja, maka kita dapat menghemat devisa negara hingga 2 triliun,” tegas Bambang.
Keunggulan mie sagu
Dari sisi karbohidrat, sagu ternyata memiliki kandungan karbohidrat sangat tinggi. Sedangkan terigu kaya akan gizi lainnya seperti protein, lemak dan sifat yang dapat mengembang. Sementara dari sisi keawetan, jika disimpan dengan kadar air sama, mie sagu akan lebih tahan lama dibanding mie terigu.
“Dengan memanfaatkan bahan baku lokal, ini berarti menunjang Peraturan Presiden No 22 th 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Pati sagu, bahkan diketahui mengandung resisten starch yang bertahan lama di usus dan bermanfaat bagi mikroba di usus,” jelas Bambang.
Tidak seperti yang diyakini masyarakat selama ini bahwa jika terlalu banyak mengkonsumsi mie akan berbahaya bagi usus, mie sagu ini sama sekali tidak berbahaya bagi usus. “Kandungannya yang hanya terdiri dari karbohidrat, menjadikan mie sagu tidak memiliki efek negatif bagi usus. Bahkan mie sagu dengan resisten starch nya menjadi probiotik bagi usus sehingga dapat melancarkan pencernaan. Mengkonsumsi mie sagu secara rutin juga diyakini dapat menjaga kesehatan terutama bagi penderita diabetes,” katanya.
Saat ini, menurut Bambang, baru tersedia pengusaha mie sagu di Ambon saja. Perlu lebih banyak dilakukan sosialisasi agar semakin banyak perusahaan-perusahaan terutama UMKM yang mau memproduksi mie sagu dalam upaya mendukung ketahanan pangan. “Melalui pelaksanaan Sistem Inovasi Daerah, saya yakin produksi mie sagu ini akan dapat berkembang tidak hanya di Ambon saja tetapi juga di seluruh daerah di Indonesia,” jelasnya.
(SYRA/humas BPPT)
Komentar
Posting Komentar