Langsung ke konten utama

Universitas Riset dan Daya Saing Bangsa: Menilik pengalaman Korea Selatan

Keberadaan perguruan tinggi memiliki peran yang strategis di tengah-tengah masyarakatnya. Peran strategis tersebut meliputi tiga wacana besar yaitu universitas pengajaran (teaching universitas), universitas riset (research university) dan benteng peradaban (bastion of civilization). Secara tradisional ketiga peran tersebut tersirat dalam semangat tridharma perguruan tinggi di Indonesia. Dalam perkembangannya wacana tentang universitas riset terutama dalam konteks kemitraan antara perguruan tinggi dan dunia industri kembali mengemuka seiring dengan misi untuk mewujudkan universitas riset berkelas dunia. Semakin banyak perguruan tinggi dan perusahaan nasional yang terlibat aktif. Berdasarkan Global Competitiveness Report 2010-2011 kemitraan universitas-industri kita berada pada peringkat ke-26 dari 139 negara. Hal ini turut memberi andil bagi naiknya indeks daya saing global Indonesia ke posisi 44 setelah berada di peringkat ke-54 pada tahun sebelumnya (Kompas 29 April 2011). Sebuah pencapaian yang cukup memberi harapan. Kendatipun demikian, di sisi lain pengembangan universitas riset di tanah air nampaknya belum memberi kontribusi signifikan bagi pembangunan nasional.


Setelah lebih dari empat dasawarsa pembangunan industri, Indonesia masih tergolong sebagai negara pengimpor teknologi maju, yakni melalui mekanisme lisensi teknis, investasi langsung asing, impor barang modal dan kegiatan perdagangan internasional (Thee 2005). Tak heran bila ditinjau lebih lanjut berdasarkan faktor tingkat perkembangan teknologi, daya saing negara kita berada jauh di posisi ke-91. Kondisi ini jauh berbeda dengan Korea Selatan yang juga mengembangkan industrialisasinya dalam kurun waktu yang sama. Korea Selatan dengan indeks daya saing global di posisi ke-22, berada pada peringkat ke-19 berdasarkan faktor tingkat perkembangan teknologi. Saat ini Korea telah tumbuh menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama dunia dan termasuk dalam negara industri maju. Kepemimpinan Korea dalam beberapa sektor industri seperti semikonduktor, elektronik dan teknologi informasi telah diakui dunia.

Hal tersebut merupakan hasil dari investasi di berbagai bidang inovasi industrial yang dikembangkan sejak tiga dekade terakhir. Salah satu faktor kunci pengembangan inovasi industrial di Korea adalah keterlibatan perguruan tinggi dalam wujud peran universitas riset. Bercermin dari keberhasilan pengalaman Korea, tulisan ini hendak mengulas beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendorong efektivitas peran perguruan tinggi dalam proses percepatan pembangunan nasional.

Studi-studi bidang ekonomika menjelaskan kontribusi penting penemuan (invention) dan inovasi industrial (industrial innovation) terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pencapaian dalam penemuan dan inovasi industrial adalah suatu proses sistematis yang dibentuk oleh akumulasi riset-riset ilmiah (R&D). Penjelasan teoritis dan bukti-bukti empiris mengenai hal ini dapat kita peroleh misalnya dalam Grossman dan Helpman (1992) serta Guellec dan Potterie (2001) yang memaparkan hasil-hasil studinya terhadap negara-negara industrialis yang tergabung dalam OECD.

Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Grossman dan Helpman (1992) faktor inovasi industrial memiliki relevansi yang rendah terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Hal ini merupakan lingkaran persoalan di negara-negara berkembang. Negara-negara dengan tingkat pembangunan ekonomi yang rendah umumnya mengalami keterbatasan pada ketersediaan sumber daya manusia (SDM) terdidik, investasi modal, kewirausahaan serta iklim usaha yang menunjang seperti perijinan dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual. Keterbatasan-keterbatasan tersebut lebih lanjut akan menjadi kendala bagi kegiatan-kegiatan R&D yang berorientasi komersial. Akibatnya harapan akan dihasilkannya penemuan dan inovasi industrial menjadi rendah dan pada akhirnya menghambat laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut. Tak pelak kesenjangan pembangunan antara negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang pun semakin lebar. Lantas, adakah jalan keluar terhadap lingkaran persoalan ini?

Solusi komprehensif terhadap persoalan di atas adalah kompleks, namun langkah prioritas dapat dilakukan dengan memutus mata rantai persoalan melalui intervensi kebijakan pemerintah. Kebijakan dimaksud adalah dalam bentuk tersedianya kerangka hukum, mekanisme insentif dan alokasi anggaran yang mendorong tumbuhnya penemuan dan inovasi industrial. Model pengembangan strategisnya adalah pelibatan peran aktif tiga unsur utama yakni pemerintah, kalangan industri dan perguruan tinggi. Tanpa mengenyampingkan keberadaan institusi riset publik, peran perguruan tinggi adalah penting karena merupakan pusat bagi pelatihan tenaga-tenaga riset yang mendukung berkembangnya kreativitas dan inovasi ilmiah. Potensinya yang besar nampak paling tidak tampak dari profil perguruan tinggi di Indonesia yang di tahun 2005 berjumlah 2.300-an institusi, terdiri dari 86 PTN dan 2.200-an PTS, dan mendidik lebih dari 3,5 juta mahasiswa.

Universitas riset

Sekalipun penemuan dan inovasi industrial di negara-negara maju didominasi oleh peran korporasi, namun pemerintah dan perguruan tinggi juga memiliki peran yang signifikan. Berdasarkan hasil survey tahun 2005, negara-negara industri maju yang tergabung dalam OECD rata-rata mengalokasikan dukungan sebesar 78,1% dari total anggaran riset perguruan tinggi. Negara-negara industri maju melihat dengan jelas peran perguruan tinggi dalam membentuk massa kritis (critical mass) yang dibutuhkan bagi penemuan dan inovasi industrial (Weber dan Duderstadt, Ed. 2004). Dengan demikian peran universitas riset sebenarnya memiliki aspek yang penting bagi pembangunan di negara-negara maju.

Lebih jauh, persoalan khusus bagi negara-negara maju saat ini adalah melihat kembali keseimbangan dua peran penting perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat, yakni peran pengajaran dan penelitian. Salah satu studi kasus yang menjadi rujukan adalah yang perkembangan di perguruan-perguruan tinggi Eropa (Bologna Process, 1999). Sejak dua dasawarsa terakhir pendidikan tinggi di Eropa menyadari kebutuhan untuk memisahkan program studi umum dan program studi di tingkat pascasarjana. Perguruan tinggi yang ingin mengembangkan kompetensi universitas riset perlu lebih banyak mengalokasikan sumber dayanya dalam kegiatan-kegiatan penelitian multidisipliner di tingkat pascasarjana dimana sebagai konsekuensinya akan mengurangi kegiatan pengajaran di tingkat sarjana. Di sisi lain, perguruan tinggi yang ingin mengembangkan kompetensi universitas pengajaran akan lebih berfokus pada proses pendidikan di tingkat sarjana atau pendidikan profesi. Jelas sesuai pertimbangan ini tidak semua perguruan tinggi akan mencapai status perguruan tinggi kelas dunia (world-class university). Sebuah sistem pendidikan nasional yang matang diperlukan untuk menciptakan iklim yang sehat bagi keseimbangan peran pengajaran dan penelitian.

Secara konseptual, ekosistem pengembangan inovasi industrial terdiri dari berbagai unsur, yaitu penyedia SDM, penyedia modal, penyedia pengetahuan dan teknologi, serta pembuat kebijakan. Interaksi berkelanjutan diantara pihak-pihak tersebut akan menghasilkan peneliti-peneliti dan produk-produk R&D yang berkualitas. Produk R&D dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu penemuan ilmiah dasar dan inovasi industrial yang bersifat terapan. Pemanfaatan penemuan-penemuan ilmiah dasar menjadi inovasi industrial yang memiliki manfaat ekonomis seringkali merupakan proses panjang yang membutuhkan investasi waktu dan biaya yang besar.

Sebuah ekosistem yang berkelanjutan akan terwujud ketika setiap pihak memperoleh manfaat. Ketika berinvestasi dalam kegiatan R&D, perusahaan cenderung memikirkan aspek komersial dari produk R&D tersebut. Sementara itu, para peneliti universitas seringkali tidak melihat secara konkrit aspek komersial dari hasil penelitian mereka. Para akademisi cenderung memperlakukan produk penelitiannya sebagai karya intelektual. Telah disinggung di atas bahwa sebagian besar penemuan ilmiah tidaklah bersifat aplikatif. Bahkan seringkali penerapannya adalah bersifat khusus bagi perusahaan atau sektor-sektor industri tertentu. Karenanya universitas dan pihak industri harus memiliki kerangka kemitraan jangka panjang agar mampu mengakumulasikan penemuan ilmiah tersebut secara dinamis. Pemerintah, dengan memperhatikan kemanfaatannya bagi pembangunan nasional, perlu membuat kebijakan dan insentif yang mendorong terciptanya kemitraan yang berkelanjutan tersebut.

Pengalaman Korea Selatan

Korea Selatan saat ini merupakan salah satu kekuatan ekonomi utama dunia. Di kancah global negara ini tercatat sebagai pengekspor terbesar keenam. Kekuatan ekonominya terutama dibangun oleh daya saing di bidang manufaktur, khususnya di sektor industri semikonduktor, peralatan telekomunikasi, elektronik, otomotif, petrokimia, komputer, perkapalan dan baja. Beberapa permasalahan khas negara berkembang pernah dialami negara ini, namun berkat pendekatan kebijakan pemerintah yang efektif upaya tersebut menunjukkan keberhasilan. Dalam kaitan ini salah satu hal yang menonjol adalah integrasi pengembangan universitas riset dengan kebijakan industri nasional.

Industrialisasi di Korea yang dimulai sejak awal periode 1960-an bermula dari industri pengolahan biji besi, tungsten dan bahan baku sutra yang tidak memiliki nilai tambah tinggi. Namun sejak 1970-an mulai berkembang sektor-sektor industri baru yang berorientasi ekspor seperti tekstil, petrokimia, garmen, dan kayu lapis. Dalam dua dekade awal industrialisasi ini, para industriawan Korea belum menaruh perhatian pada kegiatan pengembangan teknologi baru. Upaya mereka lebih berfokus pada upaya mengejar ketertinggalan teknologi melalui proses  imitasi dan adaptasi (reversed engineering).

Periode kedua industrialisasi pada 1980-1990an merupakan periode yang menentukan, dimana akumulasi modal dan tingkat penguasaan teknologi telah memungkinkan bagi penyerapan dan pengembangan teknologi yang lebih tinggi. Industri petrokimia, perkapalan, otomotif dan konstruksi menjadi penggerak utama perekonomian nasional. Dalam periode inilah pemerintah Korea secara intensif mendorong peran universitas riset sebagai salah satu faktor kunci pembangunan ekonominya. Pasca krisis keuangan 1997-1999, sektor-sektor industri berteknologi tinggi pun mulai mendominasi perekonomian negara ini. Saat ini Korea terus meningkatkan daya saingnya dalam memasuki era perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge based economy).

Studi Yang (2009) menjelaskan tiga tahapan periodisasi kebijakan pemerintah yang mendukung kemitraan universitas-industri. Pada tahap awal di tahun 1963-1997 beberapa kebijakan diluncurkan, misalnya Industrial Education and Industrial-Academic Cooperation Promotion Act pada tahun 1963. Kebijakan-kebijakan ini lebih menekankan pada aspek pendidikan dan pelatihan yang mendukung ketersediaan tenaga kerja industri. Beberapa proyek penelitian nasional telah diperkenalkan pada 1982. Seiring dengan geliat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan tahapan industrialisasinya, pada periode kedua (1998-2003) pemerintah Korea mengeluarkan serangkaian mekanisme insentif dan pembangunan infrastruktur guna mendorong kemitraan universitas-industri dalam kegiatan-kegiatan riset. Selanjutnya, sejak 2004 pemerintah berupaya memanfaatkan lebih lanjut kerjasama-kerjasama yang telah terbentuk untuk menopang sistem inovasi industri regional.

Bagian berikut akan memaparkan tiga kebijakan pemerintah yang berdampak langsung dalam terbentuknya sistem kerjasama tripartit antara pemerintah, kalangan industri dan perguruan tinggi. Ketiga kebijakan itu adalah: (1) reformasi mekanisme insentif perguruan tinggi, (2) pembangunan sistem dan infrastruktur pendukung dan (3) pengembangan kompetensi riset.

Kebijakan reformasi mekanisme insentif perguruan tinggi didasari oleh pemahaman bahwa universitas secara tradisional adalah institusi pendidikan. Beberapa kritik mempertanyakan seberapa jauh kurikulum dan kegiatan pendidikan di perguruan tinggi memiliki relevansi dengan upaya peningkatan daya saing nasional. Karenanya sejak 1994, pemerintah mulai melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegiatan pendidikan tinggi. Evaluasi tersebut meliputi manajemen inovasi universitas, kualitas pendidikan, kapasitas tenaga pendidik, sistem pendukung mahasiswa, infrastruktur, kemitraan universitas-industri, dan pengembangan spesialisasi strategis. Sejalan dengan evaluasi ini pemerintah menyediakan berbagai program insentif bagi kegiatan R&D dan pengembangan SDM universitas. Pada tahun 2005 misalnya, pemerintah Korea mengeluarkan dana sebesar 4.488 miliar won yang setara dengan 2,29% total anggaran belanja negara atau sebesar 0,56% PDB. Pola kemitraan universitas-industri juga mencakup kerjasama dengan usaha kecil dan menengah melalui Kibo Technology Funds.

Reformasi juga dilakukan terhadap sistem evaluasi kapasitas tenaga pengajar di universitas. Sistem evaluasi ini menyoroti jumlah dana penelitian, paten dan kerjama dengan perusahaan. Insentif terdapat publikasi ilmiah di jurnal-jurnal SCI juga mendapat proporsi yang besar. Selanjutnya di tahun 1997 pemerintah membuka peluang bagi universitas untuk menyediakan fasilitas bagi kerjasama-kerjasama bisnis dimana tenaga pengajar dapat terlibat langsung dalam kegiatan bisnis tersebut.

Kebijakan pembangunan sistem dan infrastuktur pendukung meliputi pembangunan wilayah industri yang terintegrasi dengan pengembangan SDM industri. Kebijakan ini dilakukan di bawah National Science and Technology Council yang berdiri di tahun 1999. Badan ini merupakan institusi tertinggi dalam perencanaan dan pengembangan teknologi strategis di tingkat nasional yang dipimpin langsung oleh presiden. Dengan demikian pembangunan sistem dan infrastruktur pengembangan teknologi dapat berjalan selaras dengan strategi dan kebijakan industri nasional. Melalui Korea Science and Engineering Foundation (KOSEF) dan Korea Research Foundation (KRF) berbagai kerjasama riset universitas-industri memperoleh dukungan. Beberapa infrastruktur klaster riset dan industri dibangun dalam bentuk Science Park Development Program, Techno Park Building Program dan Industrial Complex Innovation Cluster Program. Demikian pula pembangunan institusi riset publik maupun universitas berbasis riset, seperti KAIST (Korea Advanced Institute of Science and Technology).

Kebijakan pengembangan kompetensi riset bertujuan untuk meningkatkan kompetensi akademik di bidang pendidikan dan penelitian. Salah satu bentuknya adalah dengan mengevaluasi jumlah artikel yang dipublikasikan dalam jurnal SCI dan kerjasama institusional antara universitas dan perusahaan. Selain itu, pada tahun 2004-2008 proyek NURI diperkenalkan untuk menciptakan sinergi antara pengembangan spesialisasi kompetensi universitas dengan kebutuhan industri-industri yang berkembang di wilayahnya. Pada tahun 2006 saja pemerintah menyediakan anggaran sebesar 260 juta USD bagi proyek ini.

Sejak 1999 diperkenalkan proyek Brain Korea 21. Untuk proyek ini pemerintah Korea mengalokasikan 290 juta USD pada tahun 2006. Tujuan proyek ini adalah untuk: (a) menumbuhkan 10 besar universitas berorientasi riset di beberapa bidang kunci, (b) mendorong universitas-universitas di Korea untuk masuk dalam 10 besar publikasi jurnal SCI, dan (c) menjadi salah satu dari 10 negara terbesar dalam hal transfer teknologi dari universitas ke industri, yakni dari 10% di 2004 ke 20% di 2012.

Dalam hal ini patut dicatat bahwa berbagai upaya terobosan kebijakan pemerintah tersebut telah menimbulkan iklim kemitraan universitas-industri yang sehat dan berkelanjutan. Keberadaan mahasiswa-mahasiswa asing di Korea yang umumnya berasal dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia sejak awal tahun 2000-an sebagian besar adalah berasal dari dukungan beasiswa proyek-proyek kemitraan R&D di universitas-universitas Korea. Mahasiswa-mahasiswa di tingkat pascasarjana tersebut dibutuhkan sebagai tenaga-tenaga riset untuk mengerjakan proyek-proyek kemitraan tersebut. Proyek-proyek R&D tersebut adalah berasal dari program kemitraan antara universitas dengan industri maupun universitas dengan pemerintah.

Dua pendekatan strategis

Kekuatan model pengembangan universitas riset di Korea Selatan terletak pada integrasinya dengan kebijakan industri nasional serta sifatnya yang berkelanjutan melalui kemitraan universitas-industri. Belajar dari pengalaman pengembangan universitas riset di negara ini, terdapat dua pokok pendekatan strategis yang dapat kita pelajari. Dua pendekatan ini kita sebut sebagai pendekatan promotif dan pendekatan mutualisme-pasar.

Pendekatan promotif pemerintah perlu dilakukan dalam berbagai bentuk mekanisme insentif dan alokasi anggaran yang mendorong integrasi pengembangan universitas riset terhadap kebijakan industri nasional. Sayangnya, pasca reformasi perekonomian di tahun 2000 justru tidak nampak arah kebijakan industri nasional dimaksud. Namun demikian perkembangan terakhir tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembanguan Ekonomi Indonesia (MP3EI) beserta penetapan enam koridor ekonomi nasional diharapkan dapat diselaraskan dengan kebutuhan akan klaster-klaster riset dan industri regional di tanah air. Promosi kemitraan juga perlu diarahkan bagi penguatan teknologi agribisnis tepat guna di pedesaan dan inovasi industrial di tingkat usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Alokasi anggaran pendidikan nasional sebesar 20% total belanja negara atau yang setara dengan 4% PDB kiranya dapat digunakan secara efektif untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut.

Selanjutnya penguatan kerangka hukum dan kerjasama institusi diperlukan agar kemitraan universitas-industri dapat berkelanjutan melalui pendekatan mutualisme-pasar, dalam arti semua pihak yang terkait memperoleh manfaat ekonomis dari kerjasama ini. Melalui kerangka kemitraan ini diharapkan universitas akan belajar untuk memahami kebutuhan-kebutuhan riil dunia industri, dan seiring dengan meningkatnya kapasitas dan produktivitasnya sebagai institusi riset maka universitas akan dapat melakukan negosiasi dan kerjasama mutualis dengan pihak industri. Hal ini secara langsung akan memberi dampak bagi produktivitas industri nasional serta mengurangi ketergantungan terhadap insentif pemerintah. Kekhawatiran akan masalah perlindungan aset intelektual, sebagaimana terungkap dalam diskusi penulis dengan seorang eksekutif perusahaan manufaktur, kiranya dapat diatasi. Banyak perusahaan nasional memahami manfaat kemitraan dengan perguruan tinggi namun mereka tentu tidak menginginkan aset intelektualnya secara langsung ataupun tidak jatuh ke tangan pesaing.

Adalah benar pendapat yang mengatakan bahwa daya saing bangsa kita tidak lagi dapat ditentukan oleh kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerjanya yang murah. Daya saing kita akan semakin ditentukan oleh tingkat kemandirian dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan inovasi industrial. Upaya membangun daya kompetitif bangsa ini harus dilaksanakan secara bersama dan sinergis antara pemerintah, perguruan tinggi dan dunia industri. Program Riset Andalan Perguruan Tinggi dan Industri (Rapid) Dikti yang telah bergulir sejak 2004 diharapkan dapat semakin berkembang dan memperkokoh kebutuhan sinergis tersebut. Lebih lanjut pemerintah perlu melihat kembali keseimbangan peran universitas dalam hal pengajaran dan penelitian. Ke depan kiranya akan dibutuhkan perguruan-perguruan tinggi yang lebih berfokus pada bidang penelitian (research based university).

Harapan menuju universitas riset berkelas dunia hanya akan menghasilkan menara gading bila tidak diabdikan bagi upaya peningkatan daya saing dan percepatan pembangunan nasional. Dua pendekatan stategis di atas dapat mengurai hambatan-hambatan terhadap upaya membumikan peran universitas riset di Indonesia. Sejauh pengamatan penulis, telah terdapat fondasi ke arah tersebut, namun integrasi merupakan kata kunci. Prof. Juwono Sudarsono, sosiolog dan mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, pernah menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menjadi bangsa yang besar namun seringkali lemah dalam hal integrasi. Semoga pernyataan ini menjadi pembelajaran kita.

Referensi

Grossman, Gene M., Elhaman Helpman. 1992. Innovation and Growth in the Global Economy. 2nd ed. Cambridge: MIT Press.

Nafziger, E. Wayne. 1997. The Economics of Developing Countries. 3rd ed. New Jersey: Prentice-Hall.

Tolentino, P. E. E. 1993. Technological Innovation and Third World Multinationals. London: Routledge.

Weber, Luc E., James J. Duderstadt (Ed.). 2004. Reinventing the Research University. London: Economica.

Yang, Joon-Mo. 2009. University and Industry Linkages: the Case of Korea. Proceeding of Korea Institution and Economics Association (KIEA) International Conference.

Guellec, Dominique, Bruno van Pottelsberghe de la Potterie. 2001. R&D and Productivity Growth: Panel Data Analysis of 16 OECD Countries. OECD Economic Studies, No. 33.

Thee, Kian Wie. 2005. The Major Channels of International Technology Transfer to Indonesia: an Assessment.Journal of the Asia Pacific Economy, Vol. 10 (2), pp. 214-236.

Wicaksono, Teguh Yudo, Deni Friawan. 2008. Recent Developments Of Higher Education In Indonesia: Issues And Challenges. EABER Working Paper Series, Paper No.45.

Catatan: versi lain dari tulisan ini dengan judul “Membumikan Peran Universitas Riset: Belajar dari pengalaman Korea Selatan” terpilih sebagai salah satu artikel terbaik dalam Lomba Esai Hardiknas 2011 yang diselenggarakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Korea Selatan (Perpika).

Wahyudi Wibowo
Mahasiswa program doktoral, International Trade and Commerce Department, Kyungsung University, Busan, Korea Selatan
wahyudi.wibowo@uphsurabaya.ac.id

Referensi : www.dikti.go.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teknik Persilangan Bunga Anggrek

Indonesia merupakan pusat keanekaragaman genetik beberapa jenis anggrek yang berpotensi sebagai tetua untuk menghasilkan varietas baru anggrek bunga potong, seperti Dendrobium , Vanda , Arachnis , dan Renanthera , maupun sebagai tanaman pot, seperti Phalaenopsis dan Paphiopedilum . Prospek tanaman anggrek dianggap masih sangat cerah untuk dikembangkan. Namun  potensi  ini  belum  dimanfaatkan secara proporsional, hal ini dapat dilihat dari nilai ekpor anggrek Indonesia yang hanya 3 juta US$ per  tahun. Angka  tersebut  termasuk kecil  jika dibandingkan dengan nilai ekspor Negara tetangga Singapura 7,7 juta US$ dan Thailand 50 Juta US$.  Sementara   potensi   perdagangan   dunia  150 juta US$ per   tahun  (Bank Indonesia 2004). Rendahnya produksi anggrek Indonesia  antara  lain  disebabkan  kurang  tersedianya  bibit  bermutu,  budidaya  yang kurang efisien serta penanganan pasca panen yang kurang baik. Untuk memenuhi permintaan pasar yang cenderung meningkat maka diperlukan ketersedi

PERKEMBANGAN EMBRIO DAN IMPLANTASI PADA MAMALIA

A. Fase Embrionik          Tahap awal perkembangan ternak mamalia diawali dengan peristiwa pertemuan/peleburan sel sperma dengan sel ovum yang dikenal dengan peristiwa fertilisasi. Fertilisasi akan menghasilkan sel individu baru yang disebut dengan zygote dan akan melakukan pembelahan diri/pembelahan sel (cleavage) menuju pertumbuhan dan perkembangan menjadi embrio.Tahapan pertumbuhan dan perkembangan embrio dibedakan menjadi 2 tahap yaitu : Fase Embrionik yaitu fase pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup selama masa embrio yang diawali dengan peristiwa fertilisasi sampai dengan terbentuknya janin di dalam tubuh induk betina. Fase fertilisasi adalah pertemuan antara sel sperma dengan sel ovum dan akan menghasilkan zygote. Zygote akan melakukan pembelahan sel (cleavage) Tiga fase embrionik yaitu : 1. Morula Morula adalah suatu bentukan sel sperti bola (bulat) akibat pembelahan sel terus menerus. Keberadaan antara satu dengan sel yang lain adalah rapat.Morulasi yaitu proses t

Agri Feature : Pohon Fast Growing Layak Dikembangkan di Indonesia

Tanaman Fast Growing Species (FGS) merupakan tanaman cepat tumbuh dan mempunyai masak tebang maksimal 15 tahun. FGS yang dikembangkan di Perum Perhutani diutamakan jenis-jenis valuable hardwoods . Kelebihan dari valuable hardwoods adalah : mempunyai nilai keuangan yang tinggi, harga yang baik, mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu, serta kegunaan yang luas mempunyai nilai produk akhir yang tinggi bisa diolah untuk kayu gergajian, plywood atau veneer