Menilik tentang potensi dunia pertanian di bidang
biofarmaka, ternyata dapat kita ketahui bahwasanya aspek yang telah sampai saat
ini menjadi kekuatan secara konseptual belum teraplikasi secara signifikan
untuk dikembangkan di masyarakat. Padahal kita tahu, perkembangan biofarmaka di
Indonesia ini sangatlah didukung oleh keberagaman sumber daya hayati yang
dimiliki oleh alam negeri ini. Ditambah perlu diingat sumber daya manusia yang
melimpah ruah sampai menelurkan keadaan “unlimited pengangguran”. Khususnya
akademisi yang tak lain tak bukan salah satunya adalah kaum intelektual
mahasiswa. Dan, di Fakultas Pertanian inipun ada program Diploma III Agrobisnis
minat Agrofarmaka. Lantas, apa yang sebenarnya dapat digali dari biofarmaka di
sektor pertanian dan apa yang dapat dilakukan oleh mahasiswa sebagai pihak
pembaharu dan transfer inovasi ke masyarakat????
Potensi tanaman biofarmaka di kawasan hutan konservasi yang dapat dimanfaatkan petani sekitar hutan mencapai lebih dari 400 spesies senilai hingga Rp 4 triliun. Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan Darori mengakui potensi biofarmaka dari sumber alam dan keanekaragaman hayati (biodiversity) sangat besar. "Tanaman biofarmaka hasil para petani yang terpakai pabrik jamu baru mencapai Rp1 triliun per tahun dari nilai pasar jamu Rp4 triliun per tahun," ujar Direktur PT Kalbe Farma Boenyamin Setiawan.
Indonesia memiliki lebih dari 30.000 species tumbuhan, dimana 940 species di antaranya termasuk tumbuhan berkhasiat obat. Dari jumlah tersebut, 180 species telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional. Kenyataan tersebut menunjukkan potensi Indonesia yang sangat besar sebagai pasar obat herbal dan fitofarmaka. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu.
Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi besar dalam produksi biofarmaka khususnya rimpang-rimpangan, namun masih banyak hambatan dalam pengembangan biofarmaka. Kuantitas dan kualitas produk olahan biofarmaka sangat dipengaruhi oleh peralatan yang digunakan. Alat mesin pengolahan biofarmaka telah banyak dijual di pasaran namun demikian penggunaannya masih sangat terbatas. Beberapa kendala yang menghambat penggunaannya oleh para pengrajin di tingkat UKM antara lain harga yang relatif mahal, dan penggunaan bahan bakar yang belum efisien.
Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBP Mekanisasi Pertanian) telah melakukan rekayasa dan rancang bangun alat dan mesin untuk pengolahan komoditas biofarmaka khususnya jenis rimpang, berupa mesin pencuci dan perajang rimpang, mesin penepung rimpang dan rumah pengering. BBPMektan pada tahun 2009 telah mengembangkan unit pengolahan biofarmaka skala UKM dalam ujud Pabrik Mini Pengolahan Temulawak. Pendirian Pabrik Mini tersebut dilakukan di Desa Ngliron, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, bekerja sama dengan PT Perhutani I, asosiasi LMDH, Balai Tanaman Obat dan Aromatika (Balitro) dan BPTP Jawa Tengah.
Disusul baru saja tahun 2011 ini para petani yang tergabung dalam kluster Biofarmaka di Karanganyar, Jawa Tengah yang memperoleh bantuan dari Kementerian Riset dan Teknologi berupa alat pencuci, pengering, penepung, dan perajang, sehingga empon-empon yang dihasilkan petani bisa mengikuti standar permintaan pabrik jamu. Bahkan Kabupaten Karanganyar ini telah digadang sebagai daerah sentra penghasil tanaman obat atau empon-empon. Tentu pendampingan penerapan teknologi pasca panen ini diharapkan menjadikan empon-empon bukan lagi sebagai produk sampingan tapi produk unggulan.
Inovasi merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Tidak ada satu pun bangsa maju di dunia ini yang mencapai kesuksesannya tanpa memanfaatkan inovasi. Inovasi tidaklah harus selalu berkaitan dengan penciptaan suatu produk yang canggih, namun lebih kepada bagaimana membuat suatu pekerjaan itu menjadi lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah. Misalnya untuk pengembangan biofarmaka ini tidak mengenyampingkan dalam pemanfaatan lahan pekarangan kita untuk TOGA (tanaman obat keluarga), karena kita semua tahu bahwa semua kebutuhan hidup kita semakin hari terus melambung tinggi biayanya. Alangkah indah dan senangnya kita apabila tanah pekarangan kita akan kaya dengan hasil bumi secara otomatis hal tersebut akan sangat membantu meringankan kebutuhan hidup kita, karena hal ini juga didukung oleh unsur tanah Indonesia yang begitu subur akan semua jenis tanaman.
Mahasiswa pada dasarnya sebagai pemuda mempunyai peran sebagai agen perubahan, komunikator, inisiator, dinamisator, kreator, dan motivator kunci. Melalui perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan melakukan penelitian, pengabdian masyarakat, dan bahkan pendidikan tentu saja akan terbangun inovasi-inovasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Misalnya inovasi dalam hal penanaman, efisiensi pemeliharaan, teknologi pengolahan atau pasca panen, atau mungkin juga pemberdayaan masyarakat yang dapat disentuh melalui program-program penyuluhan, pelatihan, pendampingan, serta sharing dan diskusi. Apresiasi setinggi-tingginya kepada kawan-kawan semua yang telah peduli dalam hal pengembangan biofarmaka ini, seperti yang telah berkarya lewat Program Kreativitas Mahasiswa, Hibah MITI, dan program kerja UKKHM.
Pada akhirnya, dapat kita melihat perkembangan industri herbal medicine dan health food di Indonesia dewasa ini meningkat dengan pesat. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati, khususnya dari jenis biofarmaka, akan terus berlanjut, sehubungan dengan kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi kebudayaan memakai obat tradisional. Inovasi teknologi dan peran mahasiswa juga akan sangat dibutuhkan. Kecenderungan ini telah meluas ke seluruh dunia dan dikenal sebagai gelombang hijau baru new green wave atau trend gaya hidup kembali ke alam back to nature.
** Yuan Harnawan Pamungkas
(tulisan untuk Mading KSI beberapa bulan yang lalu)
kak agribisnis minat agrofarmaka itu lingkup ruang kerjanya apa aja ya?
BalasHapusatas ane lagi mau daftar UNS :D
BalasHapus